Ditulis Oleh : MUHAMMAD NAUFAL AFLAH/ 320200301016
Mahasiswa Universitas Pertahanan Republik Indonesia, Bogor
Sepindonesia.com | LABUHANBATU – Paradigma Pesatnya Perkembangan teknologi dan informasi yang semakin melingkupi tatanan global dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada dasarnya menjanjikan akan pengaruh pola perilaku setiap pribadi ke arah yang lebih baik.
Meskipun di tengah digitalisasi yang menyuguhkan banyak implikasi bermanfaat terhadap berbagai bidang, tidak menafikkan jika hal tersebut juga menyebabkan perubahan yang signifikan dalam keteraturan bersosialisasi. Pesatnya perkembangan teknologi di era saat ini hingga mendatang akan sejalan terhadap genapnya usia Indonesia menjadi satu abad, dimana tertuang ide untuk melahirkan generasi emas bangsa ini pada tahun 2045. Pasalnya, secara holistik pada tahun tersebut jumlah penduduk indonesia ditaksir relatif besar berusia produktif, dan sisanya merupakan penduduk yang berusia kurang produktif. Apabila kesempatan ini dapat dimanfaatkan dan dikelola dengan baik sebagaimana mestinya oleh bangsa Indonesia, maka akan tercipta perubahan dan dampak positif yang sangat signifikan. Di tengah masyarakat yang kontemporer, para generasi penerus bangsa harus dipersiapkan secara baik agar dapat memenuhi indikator untuk dapat mengemban tanggung jawab pada masa mendatang. Setiap elemen bangsa Indonesia dan pemerintahan yang berdaulat harus dapat bahu-membahu sebagai upaya menyambut para generasi emas tersebut.
Namun, Indonesia saat ini dihadapkan oleh sebuah permasalahan yang hingga saat ini upaya pengentasan dan penyelesaiannya tergolong masih relatif rendah. Problematika tersebut ialah berupa kekerasan seksual yang tidak sedikit dijumpai di lingkungan masyarakat. Salah satu aspek utama penunjang keberhasilan generasi penerus bangsa Indonesia melawan kejahatan seksualitas dan mencapai titik keemasan ialah melalui sebuah edukasi seksualitas yang pragmatis dan interaktif. Edukasi seksualitas yang diberikan tidak boleh bersifat konvensional, melainkan harus mampu merelevansi sesuai tuntutan peradaban bangsa menjadi edukasi yang digital. Dalam hal ini, peranan pembangunan bidang edukasi yang masif dan strategis untuk merealisasikan hal tersebut akan sangat penting dan berpotensi besar terhadap pemberantasan segala bentuk tindakan asusila tersebut sebagai langkah preventif untuk melahirkan generasi emas di tahun 2045. Bertolak ukur melalui topik permasalahan utama yang terjadi di Indonesia berupa kekerasan seksualitas yang terjadi hingga saat ini, adapun identifikasi topik bahasan tersebut yaitu sebagai berikut.
1. Apakah kiat-kiat yang harus dilakukan oleh generasi penerus bangsa saat ini dalam memberantas kasus buta akan pelecehan seksualitas untuk menyongsong generasi emas yang gemilang di tahun 2045.
2. Bagaimana peran pemuda sebagai generasi penerus bangsa dalam mewujudkan pemanfaatan digitalisasi untuk memberikan edukasi seksualitas guna menyambut generasi emas 2045.
3. Bagaimana strategi penyaluran edukasi berbasis digitalisasi guna meraih generasi yang unggul seperti yang harus dimiliki oleh setiap pribadi pada masa keemasan 2045.
Maraknya aksi kekerasan seksual yang rentan terjadi di masyarakat bahkan pada anak di bawah umur hingga saat ini, jika tidak diberantas akan menjadi malapetaka terhadap upaya menjadikan generasi pemuda sebagai aktor pengubah peradaban bangsa (Maslihah, 2006). Rendahnya kesadaran, sikap apatisme, dan informasi kesehatan seksualitas yang masih tabu di setiap elemen masyarakat terhadap kekerasan seksual akan sangat berpengaruh terhadap generasi emas mendatang. Potensi akan fenomena demikian di tengah masyarakat harus dientaskan secara intensif melalui sebuah edukasi seksualitas yang pragmatis dan interaktif agar dapat menekan dan menghentikan tingkat kekerasan seksualitas yang terjadi di negara ini. Meskipun edukasi seksualitas relatif sulit direalisasikan di Indonesia karena dianggap terlalu sensitif terhadap pola pemikiran setiap insan, namun tanpa adanya edukasi seksualitas akan memperkeruh tingkat kekerasan seksualitas yang terjadi di negara ini. Bactiar (2010), menyebutkan bahwasannya salah satu faktor yang menimbulkan persoalan seks pada sebagian besar masyarakat Indonesia adalah fasilitas yang dimilikinya yang memungkinkan untuk mengkonsumsi berbagai macam jenis informasi terbuka dari media elektronik yang memiliki jaringan internet yakni gadget, televisi dan handphone. Generasi emas di tahun 2045 adalah anak bangsa yang terhindar dari segala bentuk perilaku yang tidak bermoral, anarkis, dan destruktif. Berbagai tindakan penyimpangan seksualitas merupakan perubahan yang dapat dirasakan secara signifikan, sehingga para pemuda generasi penerus bangsa dengan penuh keberanian harus mampu melakukan rekonstruksi atau merevolusi perubahan tersebut agar bangsa ini dapat meraih kejayaannya kelak.
Para pemuda yang lahir dengan keadaan negara yang demikian, tentunya pemuda tersebut tidak akan berpangku tangan dan tinggal diam melihat situasi negaranya. Dengan demikian, para pemuda penerus bangsa harus bersikap kritis agar dapat memberikan stimulus dalam menanggapi permasalahan di negaranya yang tengah terjadi terkait tindak pelecehan seksual seperti pencabulan, pemerkosaan, penganiayaan, dan lain sebagainya. Pelecehan seksual merupakan bentuk serangan yang bersifat seksual terhadap seseorang atau sekelompok orang, baik terjadi secara persetubuhan langsung maupun secara tidak langsung dimana tanpa memperhatikan hubungan antara oknum dengan korban (Tjandra, 2012).
Bentuk pelecehan seksualitas sangat beragam di antaranya adalah pemerkosaan, tindakan sadisme seksualitas, pemaksaan dalam melakukan seksualitas tanpa adanya ikatan atau hubungan, melukai, dan merendahkan korban tersebut. Beberapa deretan penyimpangan seksualitas yang sedang marak terjadi di Indonesia sebagai akibat dari digitalisasi yang harus diberantas oleh generasi pemuda penerus bangsa di antaranya yaitu sebagai berikut.
1. Ekshibisionisme
Aksi ini merupakan tindakan yang menyebabkan seseorang menjadi terkejut, ketakutan, atau kagum melihat sikapnya walupun tidak terjadi kontak persetubuhan secara langsung. Oknum seksual jenis tersebut akan merasakan rasa puas seks jika korban terkejut, seperti memperlihatkan alat kelamin di depan umum atau publik. Fenomena asusila ini harus diberantas secara masif agar tidak terjadi kasus-kasus yang sama secara berkelanjutan di masa mendatang.
2. Froteurisme
Aksi seksual jenis ini senderung untuk menggesekkan alat kelamin oknum pada orang asing yang tidak dikenal. Kasus yang tengah marak terjadi ialah oknum melakukannya di tempat umum dengan keadaan desak-desakan seperti di kereta api atau di bus. Tindakan semacam ini akan memicu masalah hukum, sebab melakukan kontak kelamin dengan korban tanpa izin.
3. Sadisme
Jenis seksualitas semacam ini oknum akan merasakan kepuasan apabila telah menyiksa, mengalami penderitaan secara fisik, dan gangguan psikologis pasangannya. Seseorang yang menderita kelainan jenis ini, akan cenderung merasa paling berkuasa atas pasangannya. Tujuan daripada oknum tersebut ialah berkuasa penuh, sehingga tidak jarang terjadi tindakan pemerkosaan dan pembunuhan. Bahkan, kepuasan akan semakin meningkat pada diri pelaku apabila korban mengalami kematian.
4. Paedofilia
Adapun aksi jenis ini yaitu oknum sangat tertarik melakukan aktivitas seksualitas dengan anak yang berumur kurang dari 13 tahun. Bentuk tindakannya dapat berupa oknum memaksa korban yakni anak untuk memegang alat kelaminnya, bahkan melakukan hubungan seksualitas dengan anak tersebut.
5. Sadomakosis
Jenis tindakan asusila sejenis ini, rasa puas akan dimiliki pelaku melalui korban yang mengalami kesakitan akibat kekerasan verbal atau kekerasan nonverbal. Bentuk kekerasan semacam ini yang sedang marak terjadi ialah mencekik tubuh sang korban hingga mengalami kekurangan oksigen dengan tujuan orgasme. Selain itu, tindakan memukul. Bertolak ukur dari beberapa jenis aksi pelecehan seksualitas yang sering terjadi di masyarakat, maka menunjukkan bahwasannya yang perlu dibenahi saat ini ialah kasus kebutaan masyarakat dalam menyikapi perihal masalah ini. Kebutaan yang terjadi di era digitalisasi saat ini bukan lagi berupa buta aksara, melainkan buta akan pelecehan seksualitas. Revitalisasi dalam tatanan sosial dan budaya yang ada di masyarakat perlu diperhatikan guna menjaga dan mengembangkan kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia di Indonesia ke depannya agar dapat relevan sesuai dengan masa dan tantangan yang terjadi saat ini berupa kekerasan seksual.
Pada era yang disruptif ini, pemerintahan belum mampu memprioritaskan skala edukasi untuk mendukung pengentasan permasalahan mengenai kejahatan seksualitas yang banyak terjadi. Semakin maraknya tingkat kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat terutama pada perempuan, anak, dan remaja hingga saat ini, mengingatkan kepada kita semua akan pentingnya masalah terkait pengetahuan seks tepatnya pada segenap bangsa Indonesia. Dengan demikian, kesadaran mengenai edukasi seksualitas harus ditanamkan dan ditumbuhkan pada segenap elemen masyarakat secara dini (Creswell, 2013).
Kesadaran akan pentingnya edukasi seksual yang pragmatis pada seluruh elemen masyarakat memiliki tujuan yaitu agar setiap elemen masyarakat mampu memproteksi dirinya dari para oknum kejahatan seksual. Problematika utama yang terjadi saat ini, para pelaku kejahatan seksualitas adalah banyak berasal dari kerabat, tetangga, bahkan keluarga dekat yaitu orang tua kandung korban itu sendiri. Apabila diadakan edukasi seksualitas yang pragmatis dan interaktif di Indonesia, maka akan berpengaruh penting terhadap proses penghapusan kekerasan seksual dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Edukasi seksual tersebut harus diberikan secara tepat secara dini agar setiap elemen masyarakat dalam menghadapi tantangan di era digitalisasi dapat berperilaku dengan tepat dan baik.
Edukasi seksualitas yang pragmatis dan interaktif yang ditujukan pada seluruh elemen masyarakat yakni dewasa dan remaja yaitu sebuah edukasi yang berkesinambungan dan berhubungan mengenai metode menyampaikan informasi dan pembentukan sikap terkait seksualitas, identitas masing-masing individu, hubungan atau relasi di antara jenis kelamin. Edukasi seksual yang diberikan terhadap anak bertujuan untuk membekali anak dengan keterampilan guna membentengi dalam memilih respon yang hendak diambil, menumbuhkan kepercayaan diri terhadap diri anak, mengembangkan kompetensi dalam diri anak dalam penentuan tindakan ketika dihadapkan sebuah kondisi yang tidak memungkinkan (Wardle, 2007). Dengan berbekal pengetahuan dan pemahaman untuk menentukan tindakan dan melatih tingkat kepercayaan diri, maka seluruh elemen masyarakat diharap mampu membuat pertahanan terhadap dirinya terhadap segala tindak kekerasan asusila, penyimpangan seksualitas, dan turut serta berkontribusi dalam memberantas penyakit menular berupa HIV dan AIDS.
Dewasa ini, yang terjadi yaitu bertolak belakang dengan hal tersebut lantaran sebagian besar orang di Indonesia relatif untuk tidak mengajarkan tentang edukasi mengenai perihal seksualitas. Hal tersebut disebabkan karena pemberian edukasi terkait seks dirasa kurang tepat dan tabu oleh sebagian besar orang di Indonesia. Para sebagian besar orang berasumsi bahwasannya memberikan edukasi tersebut di secara dini maka akan menyebabkan seseorang tersebut cenderung memiliki keingintahuan yang kuat dalam ranah seksualitas serta akan mengakibatkan turut terlibat ke dalam ranah asusila.
Permasalahan relevan yang terjadi di Indonesia yaitu masyarakat di Indonesia banyak mengalami kesulitan saat memberikan edukasi seksualitas (Counterman & Kirkwood, 2013). Ketidakmampuan sebagian besar orang dalam menghadapi tantangan era digitalisasi yang sangat berpengaruh terhadap perkembangannya dan ketidakmampuan memberi pendidikan seks tersebut terhadap sesamanya agar tidak terjerumus ke ranah asusila, seharusnya pemerintah turut berupaya untuk memberikan edukasi tersebut sebagai respon aktif terhadap tingkat lonjakan kasus yang terjadi. Adapun yang mengkhawatirkan yaitu sebagian besar elemen masyarakat di Indonesia hanya sekedar mengingatkan tentang bahaya melakukan tindakan asusila tersebut tanpa menunjukkan alasan-alasan yang lebih komprehensif dan logis. Mengingat kasus asusila yang terjadi Indonesia contohnya berupa kebanyakan remaja bahkan anak dipaksa menikah dini sebab mengandung atau mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, seharusnya edukasi seksualitas yang pragmatis di Indonesia menjadi kebutuhan yang sangat krusial. Pada hakikatnya efektifitas sebuah edukasi dapat berjalan dengan lancar dan mencapai tujuan untuk memberi perubahan adalah dengan menggunakan sebuah media sebagai perantara penyampaiannya secara inovatif dan kreatif agar tidak monoton. Di samping itu, metode edukasi dengan memanfaatkan digitalisasi akan lebih efisien karena tidak membutuhkan tenaga pengajar melainkan menggunakan pemanfaatan teknologi digitalisasi yang independen.
Bertolak ukur pada problematika di atas, dengan memanfaatkan perkembangan digitalisasi maka penulis sebagai generasi penerus bangsa berusaha memutus peradaban berbagai tindak kejahatan asusila yang banyak terjadi melalui penciptaan aplikasi digital Gen-Z secara efektif dan efisien. Dengan menggunakan aplikasi ini yang dikemas secara menarik, maka akan memacu keingintahuan para pembaca akan memeroleh pengetahuan dan pemahaman yang logis sesuai dengan tingkat batas usia pembacanya.
Model yang diberikan juga bersifat interaktif dimana para pengguna dapat berinteraksi langsung dengan para praktisi yang handal untuk bertanya maupun konsultasi. Adapun beberapa sistem praktis yang diharapkan mampu dikembangkan di media aplikasi Gen-Z sebagai fitur utamanya yaitu sebagai berikut.
1. Sistem tanya jawab secara interaktif Melalui rancangan sistem ini, diharapkan mampu memberikan pengarahan yang tepat terhadap proses berpikir seluruh elemen masyarakat, mengetahui seberapa jauh tingkat pemahaman terhadap seksualitas berdasarkan batasan usia, dan mengukur seberapa jauh timbal balik yang diberikan oleh setiap elemen masyarakat dalam menanggapi permasalahan terkait seksualitas tersebut.
2. Sistem Keteladanan Dengan menggagas sistem yang kedua sebagai fitur dalam aplikasi Gen-Z, diharapkan seluruh elemen masyarakat dapat meneladani dan mencontoh segala bentuk perilaku atau sikap baik lainnya sehingga dapat diimplikasikan dalam kehidupan bersosial yang baik.
4. Sistem Kontrol Adapun dengan diberikannya sistem ini sebagai fitur utama, diharapkan mampu mengawasi setiap elemen masyarakat agar tidak terjerumus ke dalam tindakan asusila. Dimana fitur ini akan terkoneksi dengan halaman penjelahan di ponsel pintar atau sejenisnya untuk melakukan pengawasan dari berbagai tontonan yang tidak layak untuk ditonton. Jika para pengguna smartphone dan sejenisnya yang terinstal aplikasi Gen-Z, ketika melakukan pencarian yang tidak pantas maka sistem akan mengeluarkan notifikasi dan langsung menutup penjelajahan tersebut secara otomatis.
5. Sistem Acuan Terhadap Norma di Indonesia Penanaman akan sikap disiplin yang kuat terhadap norma yang berlaku di elemen masyarakat melalui aplikasi Gen-Z berguna untuk mencegah kekerasan seksualitas akan memberikan stimulus yang efektif.
6. Sistem Penanaman Sifat Menghormati Gender Penanaman sifat terhadap seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali melalui fitur yang tersedia, memiliki tujuan yaitu agar setiap elemen mampu menjadi laki-laki maupun perempuan sesungguhnya dan memiliki rasa bangga terhadap jenis gender yang diberikan tuhan sebagai anugerah, serta dapat menghormati gender di antara sesamanya.
Langkah preventif berupa penciptaan aplikasi Gen-Z ini diharap mampu membimbing segenap masyarakat Indonesia dalam rangka optimalisasi pertumbuhan dan perkembangan setiap individu sebagai kontribusi secara nyata untuk mencegah munculnya kasus pelecehan seksual secara berkelanjutan di Indonesia. Hal ini dikarenakan apabila semakin dini edukasi ini diberikan ke seluruh elemen masyarakat terutama pada anak dan remaja di Indonesia, maka semakin tinggi harapan terhadap pengendalian tindakan seksualitas. Melalui aplikasi Gen-Z tersebut diharapkan membuahkan hasil yang maksimal, meskipun hasil yang diberikan tidak secara langsung menghentikan tindakan kekerasan seksualitas di Indonesia.
Namun, aplikasi tersebut penulis mengharapkan dapat mengurangi dan menekan lonjakan kasus tindakan seksualitas yang terjadi di negara ini. Dengan kesadaran pada segenap bangsa Indonesia terhadap bahaya akan aksi kekerasan seksual melalui edukasi seksualitas yang pragmatis dan interaktif, maka akan memberi dampak yang positif untuk melakukan transformasi dari era disruptif yang penuh akan kekerasan seksualitas menuju peradaban baru guna menciptakan generasi emas yang gemilang di tahun 2045. (Red/16)